SimpulIndonesia.com, Sinjai -- Sejatinya, seorang pemuda adalah mereka yang berani mengatakan kepada khalayak inilah saya, inilah hasil dan prestasi saya, bukan mengatakan inilah bapak saya, inilah kehebatan bapak saya. Demikian ungkapan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu.
Doa, semangat dan dorongan yang sungguh-sungguh, kini Kamaruddin MS meraih apa yang dicita-citakannya, pada strata akademik seorang Magister diumurnya terbilang relatif muda.
Umur 25 tahun ia sudah menyandang gelar Magister Pendidikan (M.Pd) pada bidang Pendidikan Agama Islam dan Wisudanya berlangsung di gedung HM Amir Said IAI Muhammadiyah Sinjai pada Sabtu, 27 Agustus 2022 kemarin.
Roda waktu terus berjalan, Kamaruddin diumurnya masih 6 bulan bersama ibu dan ke 3 kakaknya harus menelan pil pahit. Ia ditinggal seorang ayah dalam rantauannya bersama keluarga barunya.
Ketegaran dan motivasi yang kuat dari seorang ibu, sekaligus bertindak seorang bapak karena keadaanlah yang harus dilakukan tanpa harus berkeringat mencari sesuap nasi demi si buah hati.
Saat yang bersamaan pula ketika ibundanya Kamaruddin, Ibu Sri Banong ke kebun mencari penghidupan. Kamaruddin bersama saudaranya khususnya yang laki-laki karena tidak terjamin dengan pendidikan keluarga yang semestinya kala itu, sehingga mereka acap kali si kecil pembuat onar.
Akibatnya, Kamaruddin bahkan pernah ditemukan di tengah rawa-rawa tumbuhan jagung untuk menghindari amukan yang berasal dari masyarakat sekitar karena kenakalannya.
Hingga umur Kamaruddin sedang duduk di kelas 3 Tsanawiyah, ayah pun datang dari perantauan.
Apa daya, nasi sudah jadi bubur, kedua orang tuanya masing-masing sudah memiliki keluarga yang baru. Maka ia harus memilih opsi lain untuk menemukan kehidupan yang rukun, harmonis bersama keluarga kecilnya.
Benar saja, meski orang tua Kamaruddin masing-masing memiliki keluarga yang baru, tetapi tak menahannya untuk menyenangkan anak-anak.
Tak berlangsung lama Kamaruddin melihat kedua orangtuanya ishlah, saling bersilaturahmi, saling merawat saat salah jatuh sakit yang disertai masing-masing pasangannya. Ayahnya pun meninggal dunia pada umur ±50 tahun.
Rasa pilu kembali dirasakan oleh Kamaruddin bersama saudara-saudaranya, serasa tersambar petir di atas kepergian ayah untuk selamanya selamanya saja ia merasakan kehidupan harmonis bersama keluarga kecilnya.
"Berceraikan impian setiap pasangan suami istri dan bukan sesuatu yang - minta, namun jika hal tersebut terjadi maka orang tua Kamaruddin menyisakan 1 inspirasi besar," kata sepupunya Kamaruddin, Arinal Hidayah Amsur.
"Memang mereka telah bercerai, keduanya telah memiliki masing-masing keluarga tetapi tidak menutup pintu untuk saling mengunjungi, saling membantu satu sama lain," katanya.
Menariknya kata mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar ini, Mereka melakukan itu tanpa harus melanggar norma masyarakat dan agama, dan para anak-anak melihat itu sebagai pemandangan yang indah dari orang tua kandungnya.
Nah, berbekal ilmu agama di TKA/TPA dan pesantren, Kamaruddin harus move on (bangkit kembali), kesempatan tidak tertutup untuk membahagiakan kedua orangtuanya meski salah satunya tanpa tiada.
Tamat aliyah karena keterbatasan ekonomi, sebelum melanjutkan kuliah ia memilih untuk ikut bersama sepupunya di Bulukumba Kota, ia mulai tertarik untuk menggeluti dunia usaha.
Di Bulukumba ia menjual gorengan dan menjadi tukang batu panggilan sambil meluangkan waktunya untuk bercengkrama majelis dai muda Bulukumba.
Tahun berikutnya, 2016 ia pulang kampung dan melanjutkan kuliah di IAI Muhammadiyah.
Jiwa bisnisnya ternyata tidak pupus, demi membiayai kuliah berbagai profesi dia lakoni.
Menjadi sopir mobil, jual beli motor, tukang cukur, hingga jual beli kambing. Berhasil menyelesaikan kuliah S1 dan S2 nya dari usaha tersebut.
Selain berbagai usaha yang dimilikinya, ia juga pernah menjadi wakil presiden Dewan Mahasiswa IAI Muhammadiyah Sinjai dan saat ini masih sebagai muadzin di Masjid Agung Kab. Sinjai, ketua Ikatan Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Muhammadiyah Sinjai serta ketua umum Majelis Dai Muda Sinjai.
Kemudian kisah lainnya, cucu pasangan Muhammad Said alias Massaide dengan Sitti Hafsah ialah Abd Halim Amsur yang berhasil meraih gelar Magister pada bidang Pendidikan Agama Islam pula.
Abd. Halim Amsur putra pertama dari pasangan Suryani binti Massaide dengan Ambo Raju.
Suryani merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara.
Halim Amsur menyelesaikan studi Pascasarjananya pada UIN Alauddin Makassar pada tahun 2018 lalu, lama pendidikan 1 tahun 11 bulan 28 hari dan berhasil meraih predikat cumlaude.
Tercatat rekor, Halim Amsur menjadi cucu pertama meraih gelar Magister baik dari pihak ayah ataupun ibunya dari 68 orang bersepupu satu kali akumulasi kedua pihak keluarganya.
Punya kisah hidup yang tak kalah menariknya juga.
Pada umur 6 tahun, saatnya ayahnya sedang tidak di kampung, bersama ibu dan adiknya yang masih umur sebulan itu rumahnya dilalap si jago merah. Halim saat awal kejadian itu sedang berada di rumah keluarga, ketika terdengar sengatan api yang bergejolak. Rumah yang merupakan tempat tinggal bersama keluarga kecilnya tak satupun bisa diselematkan.
Takdir Allah, rumahnya dan milik neneknya harus relah dan ikhlas melihatnya rata dengan tanah.
"Saya masih ingat sekali, karena umurku sudah harus masuk SD, pertama kali diantar ke sekolah tidak menggunakan pakaian sekolah sebagaimana teman sebaya ku saat itu," kata Halim.
"Tak berselang lama, Alhamdulillah sudah punya pakaian sekolah tetapi tidak punya lagi sepatu, dan bayangkan saja sampai kelas 5 SD tidak menggunakan sepatu," tambahnya.
Lucunya lagi, kata Halim waktu kelas 4 dan 5 celana sekolah ku robet dibagian belakang, yah mau tak mau harus menahan malu dengan teman-teman, harus siap terima itu, dimaklumi juga faktor ekonomi orang tua ku belum sanggup belikan saat itu.
Kemudian, di rumah itu kata Halim karena masih bawaan korban kebakaran, lauk pauk yang menghiasi hari hari kami itu tak lain hanya minyak goreng campur garam secukupnya bahkan ketika ada rezeki membeli mie instan intermie, 1 buah intermie harus dibagi 4, bersama abba, ummi, saya dan adekku.
Kondisi kehidupan keluarga, Ibunya Halim, Ibu Suryani harus menjadi penjual sayur di pasar, pulang dari pasar lanjut lagi memetik sayur untuk dijual lagi keesokan harinya. Dan itu berlangsung hingga puluhan tahun.
Sedang ayahnya profesi honorer penyuluh agama di Kantor Urusan Agama dan buruh harian lepas.
"Saya masih melihat di SK Honorer nya abba ku itu, tertulis kan disitu kalau tidak salah, diberikan kepadanya honorer sebesar Rp. 25.000," lugas Halim.