Simpulindonesia.com_ BULELENG,- Penyidik Unit IV/Tipiter Satreskrim Polres Buleleng, Bali, terus mengembangkan laporan mantan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana tentang pelanggaran UU ITE yang diduga dilakukan Nyoman Tirtawan di akun facebook (FB).
Seperti Rabu (29/3/203) siang, penyidik Unit IV/Tipiter meminta keterangan salah satu pemilik lahan di kawasan Batu Ampar yang juga termasuk ke dalam 45 hektare yang dicatat Pemkab Buleleng sebagai aset daerah, bernama Anugrah Tirta (72).
Selain saksi Anugrah Tirta, sehari kemudian polisi juga meminta keterangan beberapa saksi terkait postingan Nyoman Tirtawan di FB. Antara lain aktivis LSM Gema Nusantara (Genus) I Ketut Yasa dan purnawiran Polri I Made Sribudaya.
Anugrah Tirta kepada awak media menjelaskan bahwa, dia mengaku tidak pernah menjual tanah miliknya di Batu Ampar kepada siapapun termasuk kepada Pemkab Buleleng yang diklaim Pemkab Buleleng dibeli dengan harga Rp 0 (Nol Rupiah).
“Saya sangat dirugikan. Saya tidak pernah menjual tanah saya kepada siapapun. Apalgi dibilang saya jual kepada Pemkab dengan harga Rp 0. Sangat tidak benar. Saya dan petani lain sangat dirugikan,” ucap Anugrah Tirta.
Terkait dengan kesaksian untuk Tirtawan, pria asal Tabanan yang kini berdomisili di Banyuwangi, Jawa Timur, menegaskan bahwa apapun pernyataan yang disampaikan Tirtawan kepada publik melalui media massa yang kemudian disebarkan lagi melalui media sosial (Medsos) mewakili para petani berdasarkan surat kuasa yang diberikan para petani kepada Nyoman Tirtawan.
“Pak Tirtawan itu mewakili kami. Beliau mewakili kami berdasar surat kuasa kami berikan kepada beliau. Pernyataan beliau itu berdasar fakta di lapangan bukan dibuat-buat tanpa dasar,” ujar Anugrah Tirta.
Bukan hanya Anugrah Tirta, beberapa saksi juga dimintai keterangan salah satunya I made Sri Budaya yang dimintai keterangan (31/3). Dalam keterangannya kepada awak media. Minggu (2/4/2023) dirinya mengatakan,
"Iya memang benar, saya dimintai keterangan oleh penyidik Polres Buleleng. Dalam keterangan yang saya berikan sehubungan perkara di Batu Ampar. Dan saya sampaikan bahwa ketika ditanyakan apakah saudara mengetahui berteman dengan Nyoman Tirtawan?, kenal dengan Putu Agus Suradnyana sebagai pelapor?. Apa tujuan Nyoman Tirtawan berbicara seperti itu di jakarta?, dan apakah saudara mengetahui tanah Batu Ampar ada surat atau bagaimana?. Saya jelaskan bahwa saya tidak kenal dengan pak Putu Agus Suradnyana secara pribadi, namun saya tahu dia adalah pejabat Buleleng. Saya jelaskan juga saya kenal pak Nyoman Tirtawan sudah lama, dan saya berteman dengannya juga sudah lama. Untuk tanah di Batu Ampar itu yang saya ketahui sudah ada sertifikatnya beberapa, itupun saya dengar dari orang lain. Dan adapun untuk kedatangan Nyoman Tirtawan datang ke Jakarta dengan postingannya itu saya sampaikan menurut saya, mungkin yang dimaksudnya beliau itu berharap agar mendapat perhatian dari pemerintah pusat," ucapnya.
Begitu juga Ketut Yasa, ketua LSM Gema Nusantara saat dimintai keterangan terkait status Nyoman Tirtawan yang diunggah di media sosial FB beberapa waktu lalu. Ketut Yasa menyatakan bahwa,
"Saya mendukung pernyataan Pak Tirtawan yg menyuarakan keluhan masyarakat Batu Ampar terkait dengan perampasan tanah mereka. Setelah merèka secara kolektif memberikan kuasa kepada Pak Tirtawan untuk membantu mengurus tanah yang diduga kuat dirampas oleh pemerintah saat kepemimpinan Putu Agus Suradnyana. Saya menilai merèka kesulitan mencari solusi untuk mendapatkan hak-hak atas tanah yang mereka miliki secara turun temurun, karena ada diantara merèka adalah generasi kedua bahkan mungkin ada yang generasi ketiga. Dan beberapa diantara merèka, dalam suatu kesempatan secara langsung menyampaikan bahwa dibawah kepemimpinan Putu Agus Suradnyana Pemerintah Kabupaten Buleleng telah merampas tanah merèka yang digarap sejak orang tuanya berpuluh-puluh tahun. Adapun mereka yang secara langsung pernah menyampaikan keluhan bahwa dirampas, yang berambut pirang Bambang Semadi, Anugrah Tirta, Nyoman Parwata. Oleh sebab itu dalam mengomentari status Nyoman Tirtawan di media sosial FB, saya berharap agar Pak Jokowi selaku Presiden RI memerintahkan Aparat Penegak Hukumnya untuk segera menangkap perampas tanah rakyat, siapapun dia. Itu sekilas pendapat, fikiran serta harapan saya terkait status Nyoman Tirtawan terkait perampasan tanah masyarakat Batu Ampar oleh Putu Agus Suradnyana selaku Bupati Buleleng di masa kepemimpinannya," ungkap Yasa.
Sementara itu, Nyoman Tirtawan menyatakan bahwa apapun pernyataan yang dia sampaikan kepada publik melalui media massa bukanlah pernyataan pribadi melainkan mewakili para petani sebanyak 55 orang di Batu Ampar yang tanahnya diambil oleh Pemkab Buleleng.
“Saya berbicara atas nama para petani yang telah memberikan kuasa kepada saya. Masak saya ngga boleh bicara? Saya berbicara berdasarkan fakta di lapangan. Memang benar tanah petani dirampas. Buktinya petani diusir, tanah mereka ditembok. Itu apa artinya?. Apa yg saya, Nyoman Tirtawan nyatakan di media massa dan media sosial adalah peristiwa yang benar terjadi dan merupakan pemegang amanat/kuasa penuh tertanggal 15 April 2022 dari korban perampasan tanah milik warga Batu Ampar. Fakta bahwa pelaporan tentang perampasan tanah dilaporkan secara resmi di polres Buleleng tanggal 5 April 2022 dan saat unggahan di medsos tentang perampasan tanah warga Batu Ampar sedang dalam proses hukum di polres Buleleng. Cara Bupati Buleleng periode 2012-2022 Putu Agus Suradnyana merampas tanah milik warga Batu Ampar dengan mencatatkan tanah milik para warga dengan menyatakan dan mencatatkan pembelian dengan nilai nol rupiah adalah bentuk keterangan palsu karena tidak ada orang yang bisa membeli tanah seluas 45 hektar dengan nilai nol rupiah, apalagi warga Batu Ampar yang punya tanah yg sudah memiliki banyak SHM (Anugerah Tirta punya tanah yg bersertifikat seluas 11.500 m3, Nyoman Parwata 7.300 m2 dan 5.500 m2.red) serta puluhan hektar lainnya sudah punya SK Mendagri untuk dijadikan SHM. Warga diusir dari tanah milik mereka dan tanah mereka ditembok adalah bentuk nyata perbuatan kriminal yang harus ditindak adalah pelakunya, bukan pelapornya!
Dalam undang-undang dan hukum yang berlaku, tidak ada pasal yang melarang seseorang untuk menyatakan/mengunggah fakta/peristiwa yang memang benar-benar terjadi. Negara dalam hal ini wajib hadir di tengah-tengah jeritan rakyat, bukan malah membiarkan korban perampasan hidup menderita berkepanjangan," Ungkap Tirtawan.
Tirtawan juga mengaku heran, kenapa setelah lengser dari jabatan Bupati Buleleng baru Putu Agus Suradnyana melaporkan Tirtawan ke Polres Buleleng. Kata Tirtawan, yang dituding merampas tanah mliki petani itu Bupati Buleleng bukan Putu Agus Suradnyana.
“Kenapa waktu masih jadi Bupati tidak lapor, kok sekarang sudah tidak menjadi Bupati Buleleng baru lapor. Yang saya lapor itu Bupati Buleleng. Kalau sekarang dia tidak lagi menjadi Bupati, baru lapor saya, apakah relevan? Makanya polisi harus jeli,” kritik Tritawan.
“Para petani diusir dari tanah yang ditempati dan digarap secara turun-temurun sejak tahun 1950-an, sehingga rakyat tidak bisa melangsungkan kehidupan dan penuh intimidasi, apakah ini tujuan pemerintah atau negara? Terlebih rakyat membayar pajak dari dulu sampai saat ini karena memiliki sertifikat tahun 1959, surat garap tahun 1968 yang tidak boleh dipindahtangankan, SK Mendagri tahun 1982 untuk sertifikat hak milik dan beberapa SHM. Apakah salah ketika peristiwa tersebut dikatakan ‘perampasan’?,” tandas Tirtawan lagi.enyidik Unit IV/Tipiter Satreskrim Polres Buleleng, Bali, terus mengembangkan laporan mantan Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana tentang pelanggaran UU ITE yang diduga dilakukan Nyoman Tirtawan di akun facebook (FB).
Seperti Rabu (29/3/2023) siang, penyidik Unit IV/Tipiter meminta keterangan salah satu pemilik lahan di kawasan Batu Ampar yang juga termasuk ke dalam 45 hektare yang dicatat Pemkab Buleleng sebagai aset daerah, bernama Anugrah Tirta (72).
Selain saksi Anugrah Tirta, sehari kemudian polisi juga meminta keterangan beberapa saksi terkait postingan Nyoman Tirtawan di FB. Antara lain aktivis LSM Gema Nusantara (Genus) I Ketut Yasa dan purnawiran Polri I Made Sribudaya.
Anugrah Tirta kepada awak media menjelaskan bahwa, dia mengaku tidak pernah menjual tanah miliknya di Batu Ampar kepada siapapun termasuk kepada Pemkab Buleleng yang diklaim Pemkab Buleleng dibeli dengan harga Rp 0 (Nol Rupiah).
“Saya sangat dirugikan. Saya tidak pernah menjual tanah saya kepada siapapun. Apalgi dibilang saya jual kepada Pemkab dengan harga Rp 0. Sangat tidak benar. Saya dan petani lain sangat dirugikan,” ucap Anugrah Tirta.
Terkait dengan kesaksian untuk Tirtawan, pria asal Tabanan yang kini berdomisili di Banyuwangi, Jawa Timur, menegaskan bahwa apapun pernyataan yang disampaikan Tirtawan kepada publik melalui media massa yang kemudian disebarkan lagi melalui media sosial (Medsos) mewakili para petani berdasarkan surat kuasa yang diberikan para petani kepada Nyoman Tirtawan.
“Pak Tirtawan itu mewakili kami. Beliau mewakili kami berdasar surat kuasa kami berikan kepada beliau. Pernyataan beliau itu berdasar fakta di lapangan bukan dibuat-buat tanpa dasar,” ujar Anugrah Tirta.
Bukan hanya Anugrah Tirta, beberapa saksi juga dimintai keterangan salah satunya I made Sri Budaya yang dimintai keterangan (31/3). Dalam keterangannya kepada awak media. Minggu (2/4/2023) dirinya mengatakan,
"Iya memang benar, saya dimintai keterangan oleh penyidik Polres Buleleng. Dalam keterangan yang saya berikan sehubungan perkara di Batu Ampar. Dan saya sampaikan bahwa ketika ditanyakan apakah saudara mengetahui berteman dengan Nyoman Tirtawan?, kenal dengan Putu Agus Suradnyana sebagai pelapor?. Apa tujuan Nyoman Tirtawan berbicara seperti itu di jakarta?, dan apakah saudara mengetahui tanah Batu Ampar ada surat atau bagaimana?. Saya jelaskan bahwa saya tidak kenal dengan pak Putu Agus Suradnyana secara pribadi, namun saya tahu dia adalah pejabat Buleleng. Saya jelaskan juga saya kenal pak Nyoman Tirtawan sudah lama, dan saya berteman dengannya juga sudah lama. Untuk tanah di Batu Ampar itu yang saya ketahui sudah beberapa ada sertifikatnya, itupun saya dengar dari orang lain. Dan adapun untuk kedatangan Nyoman Tirtawan ke Jakarta dengan postingannya itu saya sampaikan menurut saya, mungkin yang dimaksudnya beliau itu berharap agar mendapat perhatian dari pemerintah pusat," ucapnya.
Begitu juga Ketut Yasa, ketua LSM Gema Nusantara saat dimintai keterangan terkait status Nyoman Tirtawan yang diunggah di media sosial FB beberapa waktu lalu. Ketut Yasa menyatakan bahwa,
"Saya mendukung pernyataan Pak Tirtawan yg menyuarakan keluhan masyarakat Batu Ampar terkait dengan perampasan tanah mereka. Setelah merèka secara kolektif memberikan kuasa kepada Pak Tirtawan untuk membantu mengurus tanah yang diduga kuat dirampas oleh pemerintah saat kepemimpinan Putu Agus Suradnyana. Saya menilai merèka kesulitan mencari solusi untuk mendapatkan hak-hak atas tanah yang mereka miliki secara turun temurun, karena ada diantara merèka adalah generasi kedua bahkan mungkin ada yang generasi ketiga. Dan beberapa diantara merèka, dalam suatu kesempatan secara langsung menyampaikan bahwa dibawah kepemimpinan Putu Agus Suradnyana Pemerintah Kabupaten Buleleng telah merampas tanah merèka yang digarap sejak orang tuanya berpuluh-puluh tahun. Adapun mereka yang secara langsung pernah menyampaikan keluhan bahwa dirampas, yang berambut pirang Bambang Semadi, Anugrah Tirta, Nyoman Parwata. Oleh sebab itu dalam mengomentari status Nyoman Tirtawan di media sosial FB, saya berharap agar Pak Jokowi selaku Presiden RI memerintahkan Aparat Penegak Hukumnya untuk segera menangkap perampas tanah rakyat, siapapun dia. Itu sekilas pendapat, fikiran serta harapan saya terkait status Nyoman Tirtawan terkait perampasan tanah masyarakat Batu Ampar oleh Putu Agus Suradnyana selaku Bupati Buleleng di masa kepemimpinannya," ungkap Yasa.
Sementara itu, Nyoman Tirtawan menyatakan bahwa apapun pernyataan yang dia sampaikan kepada publik melalui media massa bukanlah pernyataan pribadi melainkan mewakili para petani sebanyak 55 orang di Batu Ampar yang tanahnya diambil oleh Pemkab Buleleng.
“Saya berbicara atas nama para petani yang telah memberikan kuasa kepada saya. Masak saya ngga boleh bicara? Saya berbicara berdasarkan fakta di lapangan. Memang benar tanah petani dirampas. Buktinya petani diusir, tanah mereka ditembok. Itu apa artinya?. Apa yg saya, Nyoman Tirtawan nyatakan di media massa dan media sosial adalah peristiwa yang benar terjadi dan merupakan pemegang amanat/kuasa penuh tertanggal 15 April 2022 dari korban perampasan tanah milik warga Batu Ampar. Fakta bahwa pelaporan tentang perampasan tanah dilaporkan secara resmi di polres Buleleng tanggal 5 April 2022 dan saat unggahan di medsos tentang perampasan tanah warga Batu Ampar sedang dalam proses hukum di polres Buleleng. Cara Bupati Buleleng periode 2012-2022 Putu Agus Suradnyana merampas tanah milik warga Batu Ampar dengan mencatatkan tanah milik para warga dengan menyatakan dan mencatatkan pembelian dengan nilai nol rupiah adalah bentuk keterangan palsu karena tidak ada orang yang bisa membeli tanah seluas 45 hektar dengan nilai nol rupiah, apalagi warga Batu Ampar yang punya tanah yg sudah memiliki banyak SHM (Anugerah Tirta punya tanah yg bersertifikat seluas 11.500 m3, Nyoman Parwata 7.300 m2 dan 5.500 m2.red) serta puluhan hektar lainnya sudah punya SK Mendagri untuk dijadikan SHM. Warga diusir dari tanah milik mereka dan tanah mereka ditembok adalah bentuk nyata perbuatan kriminal yang harus ditindak adalah pelakunya, bukan pelapornya!
Dalam undang-undang dan hukum yang berlaku, tidak ada pasal yang melarang seseorang untuk menyatakan/mengunggah fakta/peristiwa yang memang benar-benar terjadi. Negara dalam hal ini wajib hadir di tengah-tengah jeritan rakyat, bukan malah membiarkan korban perampasan hidup menderita berkepanjangan," Ungkap Tirtawan.
Tirtawan juga mengaku heran, kenapa setelah lengser dari jabatan Bupati Buleleng baru Putu Agus Suradnyana melaporkan Tirtawan ke Polres Buleleng. Kata Tirtawan, yang dituding merampas tanah mliki petani itu Bupati Buleleng bukan Putu Agus Suradnyana.
“Kenapa waktu masih jadi Bupati tidak lapor, kok sekarang sudah tidak menjadi Bupati Buleleng baru lapor. Yang saya lapor itu Bupati Buleleng. Kalau sekarang dia tidak lagi menjadi Bupati, baru lapor saya, apakah relevan? Makanya polisi harus jeli,” kritik Tritawan.
“Para petani diusir dari tanah yang ditempati dan digarap secara turun-temurun sejak tahun 1950-an, sehingga rakyat tidak bisa melangsungkan kehidupan dan penuh intimidasi, apakah ini tujuan pemerintah atau negara? Terlebih rakyat membayar pajak dari dulu sampai saat ini karena memiliki sertifikat tahun 1959, surat garap tahun 1968 yang tidak boleh dipindahtangankan, SK Mendagri tahun 1982 untuk sertifikat hak milik dan beberapa SHM. Apakah salah ketika peristiwa tersebut dikatakan ‘perampasan’?,” tandas Tirtawan lagi.