-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan

Opini : Jalan Ketua Besar(In Memoriam Bang Ojo, Eks Ketua KPU Sultra)

Jumat, 29 Desember 2023 | 22.08 WIB | 0 Views Last Updated 2023-12-29T15:08:48Z

Oleh M.Nursal.S.H (Eks Kuasa Hukum KPU Sultra)


SimpulIndonesia.com__SULTRA,— "Memimpin adalah Bakat. Selebihnya, niat baiklah jadi penuntun" (Laode Abdul Natsir)


Malam menggelingsir berganti baru. Kabar duka menetak sunyi di paruh gelap. Maut menggelayut jiwanya pukul 23.40. Orang baik itu tersiar berantai telah menghadap Sang Penciptanya. Garis takdir yang tak dapat dielakkan. Mutlak, menimpa setiap makhluk yang bernyawa. 


Sungguh, Kita tak meratapi kematian. Hanya saja, Ia begitu cepat datang pada orang-orang baik. Pada Mereka yang membaktikan dirinya untuk kemanfaatan ummat. Yang meneteskan peluhnya dalam ruang-ruang publik. Karena itu, linimasa Dirundung duka kolektif. Pilu dari mereka yang mencintai kebaikan dan percaya pada teguhnya Integritas. 


Bang Ojo, Ketua Besar itu telah menghirup napas terakhirnya dirinai gerimis malam yang mengguyur pekatnya gulita. Innalilahi Wainna ilaih Rojiun. Abang, Sahabat, Saudara kami Dr. Laode Abdul Natsir. Eks Ketua KPU Kota Kendari dan Ketua Provinsi Sultra.  Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo. 


Tilas Pengabdian


Bang Ojo lahir dari darah biru pemimpin. Ayahnya kepala desa. Buyutnya pun temurun tokoh masyarakat. itu sebab, tampilan fisiknya  memancar wibawa. Besar dan kharismatik. Apalagi ia ditempa oleh medan tarung yang keras. Ayahnya berpulang ke Ilahi pada masa kanaknya (SD). Ia terlalu cepat jadi tulang punggung keluarga. Survive dengan modal karate dan mental petarung,  Pernah menjadi sekuriti bioskop. berkelana di bau-bau mencucurkan keringatnya. ia tetap tangguh mengarung setiap etape perjalanan hidupnya. Tak patah oleh kesukaran. 


Dia lalu merantau ke bumi anoa. Diantar oleh doa tulus ibunya. Menginjakkan kaki di kampus kuning. Unhalu. Dari sinilah karir kepemimpinannya merangkak. Tanpa dipapah oleh tridente oligarki, kuasa, harta, dan nepotisme. Menanjak dari bawah. Menjadi korban bulli ospek. Dipukul tidak tumbang. Dicaci tidak retak. Dengan kualitas dan mental kelelakiannya, akhirnya menaklukkan Dunia Mahasiswa. Merengkuh posisi puncak sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Unhalu. Pangkat tertinggi di lembaga kampus.  


Bang Ojo Lahir dari aktifis kampus. dari sanalah nilai-nilai ideal tertanam. Pengabdian, integritas, dan kemanfaatan. Nilai itu ia bawa pada setiap amanah yang dititipkan padanya. Bahkan ia menjaga integritas sampai ke liang lahatnya. 


Tidak seperti saat ini, junior dan aktifis sepantarannya yang berubah menjadi Bartunis (Barisan Oportunis). Penjilat burik kekuasaan. Bahkan ada yang sampai "meminum" air mata keluarga rekan juangnya. Untuk mengubah kisah korban kekejaman rezim. Demi bertengger di ketiak komisaris. Mereka menyebut dirinya politisi tapi sebenarnya dia tidak lebih dari Badut Penguasa.  


Selepas sarjana, dia mengabdi pada almamaternya sebagai tenaga pendidik. Profesi mulia yang banyak diidamkan aktifis seperti dirinya. Karena ada independensi dan jariah berkepenjangan di pekerjaan itu. Tetapi Indonesia memanggil putra terbaiknya menjadi penegak demokrasi. Ia terpilih sehingga menjeda status dosennya. 


di akhir periode pertamanya, dengan bekal jiwa kepemimpinannya, bang Ojo terpilih menjadi Ketua KPU Kota Kendari. Periode kedua jadi Anggota KPU Provinsi dan Periode Ketiga jadi Ketua KPU Provinsi Sultra. 15 Tahun menceburkan diri sebagai penyelenggara Pemilu. Angka itu, sepertiga dari hidupnya. Ia wakafkan untuk demokrasi. Pengalaman panjang nan berdinamika. 


Suatu ketika, Massa bergemuruh. Mereka datang dililit amarah, mengepung kantor KPU Provinsi Sultra. Penyebabnya, janji oknum yang tak terpenuhi. Tetapi lelaki besar nan gagah itu tak sedikit pun menunjukkan gurat ketakutan. Ia berdiri di depan berikade bermaksud mendengar aspirasi. Apa yang mesti dikhawatirkan jika tak salah, pikirnya. Pria pemberani itu Putra Muna. Pulau dibelahan laut bebas.


Namun massa semakin beringas tak terkendali. Memekik maki dan meretakkan kaca. Pada akhirnya, keberanian, ketenangan, dan transparansi kunci menenangkan amukan badai. Kisah serupa hampir terjadi ketika kunjungan KPU Pusat ke Sultra. Lagi lagi punggung penjantan itu jadi perisai. 


Saat KPU Provinsi punya kewenangan rekrutmen komisioner. Ia menyeleksi dengan prinsip Kualitas, prioritas dan kemanusiaan. Ia tak mau cawe-cawe menjijikkan. Bang Ojo tidak ingin tercatat sebagai orang yang merampas hak atau penghalang rezeki bagi manusia lain. Seperti kata bijak, Semoga kita diberi kekenyangan. Kenyang yang tidak terbuat dari laparnya orang lain. Juga kenyang yang tidak membuat orang lain lapar (alfin rizal). 


Bang Ojo penganut Falsafah Nelson Mandela. Dalam pemerintahan, kenikmatan harus pertama kali dirasakan oleh yang dipimpin (rakyat) namun jika kesulitan yang terjadi maka Pemimpin yang paling pertama harus mengalaminya. Berdasar itu, ia selalu meminta KPU pusat agar kebijakannya mempertimbangkan teman-teman kpu dilapangan. Sebab merekalah yang berpotensi memegang bara masalah. Berhadapan langsung dengan resiko. 


Sebagai ketua, lantunan orkestra kepemimpinan yang dimainkannya terasa nikmat dihati kolega dan jajaran Komisioner kabupaten/kota. Bahasa yang disampaikan sederhana. Pintar tapi tidak menggurui. Tegas tapi tak menekan. Semua orang merasa dekat dengannya. Menentramkan "gulana" laskar demokrasinya. Naluri "pengayomnya" menjadi Patron Problem Solving dizamannya. 


Sebenarnya, banyak yang tidak tahu tentang kerja Anggota KPU. Dipelupuk mata, yang tampak adalah eksklusifitas pejabat. Sambutan, peresmian, rapat. Tapi mereka tidak tahu,  ketika gerbang tahapan pemilu telah dibuka, Maka sepanjang jalan menuju pemungutan suara dan penetapan calon terpilih, adalah hari-hari yang melelahkan. masa-masa padat kerja. Begadang, perjalanan ke daerah, terbang kordinasi ke jakarta atau beberapa provinsi diseluruh Indonesia. Kantong kantong mata mereka hitam menebal. Prajurit Elektoral itu berteman dengan letih, stress, diintai oleh penyakit, bahkan dikejar dan berdampingan dengan maut. Diluar itu, ia mengorbankan quality time dengan keluarganya. 


Diwaktu-waktu itu, kantor adalah rumah pertama, Mobil/perjalanan adalah rumah kedua, keluarga adalah rumah ketiga.  Kita tentu tak lupa, ketika tahun 2019 para petugas KPPS yang berguguran karena kelelahan, begadang, kurang tidur selama seminggu. Demi menjaga kedaulatan suara rakyat. 


Mungkin rutinitas itulah yang menggerogoti tubuhnya. Merusak bagian vital dalam jasadnya. Saat itu, Kami menyebut Bang Ojo gila kerja, tapi ia bilang itu tanggung jawab. Namun sebenarnya inilah yang dimaksud dengan dedikasi. Bakti pada negara tanpa pamrih. Hanya ada dua yang menghalangi kerjanya di KPU, melayani ibunya, dan Tubuh yang menyerah. Berapa kali ia harus dirawat di rumah sakit karena keletihan. 


Kita harus menaruh salut, mengangkat hormat pada mereka yang tegak lurus pada kebenaran. Bang Ojo adalah salah satunya. Menjaga integritas dikepungan giuran materi. Seperti kata sejawatnya (Nato Al Haq) " kami memaki ke"fakir"an bahkan disamping teman kami yang bermandi milyar". 


Kerja keras bersama timnya, membuat KPU Sultra meraih prestasi terbaik Nasional di bidang Perencanaan Logistik, Kepatuhan Pelaporan, pelaksanaan anggaran, treasury award, tercepat Sirekap, Zero PSU, partisipasi pemilih. 


Setelah purna bakti di KPU, Bang Ojo kembali Berdarma pada ilmu, di almamater yang dicintainya, universitas yang selalu ia banggakan kepada koleganya di Nusantara. Ia bahagia pernah dikandung dari kemuning rahim universitas halouleo. 


Beberapa kawannya sempat merayu, agar “lompat pagar” mendaftar di Bawaslu Provinsi. Namun ia menolak dengan dalih bahwa regenerasi harus dilakukan. Penyelenggara Pemilu tak boleh berputar pada circle itu-itu saja. Kita harus Memberikan kesempatan untuk anak-anak bangsa lain. Membuktikan kerja dan karyanya. 


Ia tidak punya tipikal naik dengan menginjak orang lain, atau Merendahkan orang lain untuk menjadi terhormat.  Laku yang akhir-akhir ini bergentayangan dalam rekrutmen penyelenggara Pemilu di Indonesia. 


Walau sudah berhenti dari KPU, bakti pada lembaga itu tak pernah berhenti. Ia masih jadi tempat konsultasi bagi Komisoner. Bahkan, Empat hari sebelum meninggal, dia sempat memenangkan KPU Konsel dan KPU Konkep dengan menjadi Ahli Pemilu di PTUN. Untuk pertama dan terakhir kalinya. Itu dedikasi penutupnya untuk Electoral Justice. 


Ketua Besar itu meninggalkan tutur takjub, decak kagum dan nama yang mewangi. Kemanapun kaki pengabdiannya melangkah, tujuannya tetaplah memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara. 


Setiap kisah pasti usai. Entah oleh waktu atau maut. Tapi Tapak-tapak bakti menyisakan kenangan baik bagi generasi berikutnya 


Pulang ke Rumah. 


Pensiun dari KPU, ia “fokus” pulang menghabiskan waktu di tiga rumahnya. Rumah pertama keluarga. Rumah kedua sahabat dan kerabat. Rumah ketiga adalah Unhalu. 


Dirumah pertama, ada istri tercintanya. Wanita yang rela “resign” dari jabatan kepala bank swasta dikendari untuk menopang pengabdiannya. wanita yang memilih jalan surganya dengan berbakti pada suami dan putri-putrinya. Perempuan yang Mengikhlaskan karirnya demi merawat Bang Ojo di penghujung umurnya. Ia beruntung memiliki perhasan dunia itu.  

 

Ia bangga pada Istri dan 3 putrinya. Dia merasa pada akhirnya tempat pulang terbaik adalah keluarga. Yang menerima kondisi kita dalam keadaan apapun. Kusut, murka atau bahagia. Yang melapangkan kasihnya untuk dipeluk. Yang mengeratkan tangannya dalam dekapan keikhlasan. Tempat pulang dengan ribuan belai kasih sayang. Tempat beban pikir dipecah. Benar kata tasaro, urat nadi bernama keluarga bukan sekadar peta menuju pulang, Melainkan matahari yang padanya setiap anak adam menambang keajaiban.


Bang Ojo memulai kesuksesan dengan memuliakan keluarga. Dari sanalah hulunya. Sebab Pria-pria hebat itu, selalu takluk pada tiga hal. Telapak kaki ibu, air mata istri dan jeritan anak gadisnya. dan Ketua Besar ada dibarisan ini. 


Dirumah ini, Terbuka bagi kerabat dikampung. Bang Ojo Juga Memelihara anak tinggal. Tahun depan, Ia berencana berangkat umroh. Mensucikan dan menanamkan jiwa ilahia pada segenap sanak famili. Sebab tempat Healing terbaik adalah di Haramain. Apa daya, Allah berkehendak lain. namun Niat dan pahalanya sudah tercatat di kolom kebaikan malaikat. 


Sepeninggal bang Ojo, ibunya mungkin wanita yang paling kuat. Perempuan panjang umur itu Menyaksikan langsung laki-laki yang dicintai, meninggalkannya berkali-kali. Dulu Suami dan kini anaknya. Selalu lebih sakit ditinggal daripada meninggalkan. 


Putri-putrinya pun telah kehilangan, cinta pertama. Cinta yang berhembus, sampai penghujung napas. yang tak akan terganti. Selamanya. Walau dengan lelaki terbaik manapun di dunia. lelaki yang memberi bagian tertulus dari hatinya. Lelaki pertama yang menangis bahagia karena kehadirannya. Pria pertama yang mencium keningnya dengan menusukkan doa tertajam. 


Ia telah pulang di ketiga rumahnya. Tapi Sang Khalik memanggil ke rumah terakhirnya, Rumah Keabadian. Tempat semua insan akan kembali. 


Pada saatnya, bang Ojo akan menyiksa kita semua dengan kerinduan. Mengenang kisah pengerat hati, Petuah bijak, canda tawa, Romansa kehidupan yang selalu ia tutur di masa dunianya.


Anak yatim itu telah menuntaskan semua tugasnya di dunia.  Langit mendung mengiringi kepergiannya. Juga rintik-rintik air langit yang sendu, Merintih akan ketiadaannya. Selamat jalan abangku, Pejuang Demokrasi, mujahid keluarga. Kembalilah ke rumahmu yang nyaman itu, disamping para syuhada. 


Dan wahai para orang baik, hiduplah bertahun-tahun lagi. Take your health. (Nur).

×
Berita Terbaru Update