Source Image : Ketumpit |
Penulis : Ahmad Robbani
Pilar negara adalah fondasi yang mendukung struktur dan kestabilan sebuah negara. Namun, sayangnya, di negeri ini, kita menyaksikan betapa hancurnya pilar-pilar tersebut.
Eksekutif yang terkoyak oleh skandal korupsi, legislatif yang terperangkap dalam jaringan kepentingan pribadi, yudikatif yang kehilangan independensinya, dan pers yang digunakan sebagai alat propaganda penguasa yang akhirnya dilemahkan.
Semua itu menjadi cerminan kehancuran sebuah sistem yang seharusnya melindungi dan mensejahterakan rakyat.
Eksekutif: Korupsi dan Keangkuhan
Pemerintahan yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan pelayan rakyat malah terjerat dalam jaringan korupsi dan nepotisme.
Skandal demi skandal merobek kredibilitasnya. Proyek-proyek besar yang seharusnya menjadi tonggak kemajuan, ternyata hanya menjadi ladang untuk memperkaya segelintir elit koruptor.
Dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah mengalir begitu saja ke kantong para pejabat yang rakus dan tidak bertanggung jawab.
Legislatif: Perjuangan Tanpa Hasil
Dewan perwakilan yang seharusnya menjadi suara rakyat, malah menjadi tempat berkumpulnya para politisi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik.
Undang-undang yang seharusnya melindungi rakyat, malah digunakan untuk melindungi diri mereka sendiri dan kelompok kepentingannya.
Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi masyarakat, malah terjebak dalam lingkaran kepentingan politik yang membingungkan dan merugikan.
Yudikatif: Hilangnya Kepercayaan Publik
Sistem peradilan yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, malah terkoyak oleh intervensi politik dan tekanan dari penguasa.
Keadilan menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan.
Para hakim yang seharusnya menjadi penegak hukum, malah terjebak dalam politik kotor dan intrik kekuasaan.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan semakin luntur, dan hukum hanya menjadi alat untuk menjaga kekuasaan, bukan untuk mensejahterakan rakyat.
Pers: Tertekan dan Dibungkam
Media massa yang seharusnya menjadi wakil rakyat dalam menyuarakan aspirasi dan mengawasi pemerintah, malah menjadi korban dari tekanan dan intimidasi.
Kebebasan pers yang seharusnya dijamin oleh konstitusi, malah terkikis oleh intervensi pemerintah dan kepentingan politik tertentu.
Jurnalis yang berani mengungkap kebenaran, malah diintimidasi dan dimusuhi. Akibatnya, informasi yang diterima masyarakat menjadi terbatas dan terkadang tidak objektif, sehingga mereka sulit untuk membuat keputusan yang tepat.
Filosofi Bantal Guling: Keresahan di Balik Kenyamanan
Di balik kedamaian dan kenyamanan yang ditawarkan oleh filosofi bantal guling, sebenarnya terselip keresahan dan kekecewaan rakyat.
Bantal guling menjadi simbol dari sikap pasrah dan mengalah yang telah merajalela di tengah-tengah masyarakat.
Rakyat telah terlena dengan kenyamanan yang diberikan oleh pemerintah, tanpa menyadari bahwa di baliknya terselip kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka sendiri.
Mereka terlena dengan janji-janji manis dan iming-iming kebijakan yang tidak pernah terealisasi, tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya dijadikan sebagai alat untuk memperkaya segelintir elit yang rakus dan tidak bertanggung jawab.
Ninabobokan atau Gulingkan Saja!
Sejarah telah mencatat bagaimana bangsa ini berhasil menggulingkan pemerintahan yang korup dan otoriter.
Dari revolusi kemerdekaan hingga reformasi, rakyat telah menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah nasib bangsanya sendiri.
Namun, tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks. Kekuasaan yang terkonsentrasi dalam tangan segelintir elit politik dan ekonomi membuat perubahan menjadi semakin sulit.
Namun, bukan berarti tidak mungkin. Dengan kesadaran kolektif dan tekad yang kuat, rakyat bisa saja menggulingkan pemerintahan yang korup dan tidak bertanggung jawab.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengambil langkah pertama, dan keyakinan bahwa perubahan itu memang mungkin terjadi.
Harapan di Tengah Kekacauan
Kita menjadi saksi atas hancurnya seluruh pilar negara. Dari eksekutif yang terkoyak oleh korupsi, legislatif yang terperangkap dalam jaringan kepentingan pribadi, yudikatif yang kehilangan independensinya, hingga pers yang tertekan dan dibungkam.
Namun, di balik kekacauan tersebut, masih ada harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, negara ini akan bangkit dari keterpurukan, dan kembali menjadi negara yang adil, sejahtera, dan demokratis bagi semua warganya.
Dan harapan itu tidak akan pernah padam, selama masih ada rakyat yang peduli dan siap bertindak untuk membuat perubahan.