-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan

Beroperasi Dekat Bibir Pantai, Masyarakat Lingkungan Nelayan 2 Usir KIP

Ahad, 20 Oktober 2024 | 3:54 PTG WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-20T08:54:06Z
Gambar kolase 


SIMPULINDONESIA.com_ BANGKA- Sejumlah masyarakat nelayan Sungailiat melakukan aksi penolakan dengan  adanya dua  aktivitas Kapal Isap Produksi (KIP) didepan Muara Nelayan 2 Sungailiat Kabupaten Bangka.

Tak hanya penolakan keras, masyarakat nelayan yang terdiri dari tokoh Ormas, LSM dan Tokoh Pemuda Nelayan Sungailiat pada  Rabu malam itu (16/10/2024) sekora  pukul 21:22 WIB juga  melakukan aksi mengusir terhadap  KIP yang beroperasi di perairan setempat. Kedua KIP tersebut adalah KIP Bintanv Samudra 275 dan KiP BT 333.

Dimana KIP dengan nama “Bintang Samudra 275” tersebut berada di depan objek wisata Tongachi. Sebuah lokasi yang ramai dikunjungi wisatawan.

Selain itu warga menganggap aktivitasnya terlalu dekat dengan bibir pantai. Dikhawatirkan dampak operasi KIP terhadap lingkungan dan mata pencaharian mereka.

Tak sampai disitu saja, warga merasa adanya ketidakadilan dalam kesempatan bekerja di wilayah tersebut. Ketika warga bekerja menggunakan ponton dengan izin lengkap dan sudah memiliki Surat Perintah Kerja (SPK), mereka diusir dan tidak diizinkan bekerja. SPK mereka bahkan di cabut.

Menurut  salah satu masyarakat nelayan, DR kepada awak media  bahwa KIP selama ini telah bekerja didepan muara nelayan 2. Bahkan dari tahun lalu seperti KIP Kim Hin atau Kim Kim mitra SPK PT. Timah sudah bebas melakukan aktivitasnya.

Lokasi depan Puri Ansel  menjadi incaran bagi penambang rajuk. Karena disitu para penambang ponton kerjanya maling-maling agar dapat masuk kelokasi depan Puri Ansel tersebut.

"Kita ketahui bahwa lokasi depan Puri Ansel itu kan yang menjadi incaran penambang rajuk,  bang ? Kita tahu sama tahu lah bahwa disitu para penambang ponton kerjanya maling-maling agar dapat masuk kelokasi depan Puri Ansel tersebut," papar DS.

Disebutkan DR  bahwa dari hasil penambangan setiap ponton  per harinya  bisa mencapai 2-3 kampil. Mereka tidak pernah dapat izin dan selalu dilaporkan oleh pihak pengelola wisata tersebut.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bangka, Slamet Riyadi yang turut serta dalam rombongan aksi menegaskan agar KIP segera dipindahkan dan tidak diperbolehkan beroperasi di tempat tersebut.

Ia juga menyerukan agar PT. Timah selaku pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) bertindak adil dengan mencabut SPK kapal tersebut.

“Oleh karena itu, HNSI Bangka bersama nelayan meminta agar KIP dipindahkan karena jaraknya terlalu dekat. Kami juga mendesak PT. Timah untuk segera mencabut SPK KIP itu.

Selain itu, mereka juga mempertanyakan kenapa objek wisata Tongachi atau Puri Ansell yang dulu tidak mengizinkan warga bekerja di depannya saat menggunakan PIP, sekarang memperbolehkan KIP bekerja di sana. 

"PT. Timah harus bertindak tegas dan mencabut SPK kapal tersebut,” tukas Slamet Riyadi.

Hal serupa disampaikan oleh Ambo Nai, salah satu tokoh masyarakat yang turut dalam aksi tersebut. Ia menyatakan bahwa KIP beroperasi dalam jarak yang tidak aman dari pantai, yakni hanya beberapa ratus meter dari bibir pantai, sehingga memicu keresahan di kalangan warga.

“KIP beroperasi sangat dekat, hanya berjarak ratusan meter dari pantai. Dahulu, ketika warga hendak bekerja menggunakan PIP, tidak diizinkankan. Tapi kok dekarang KIP bisa bekerja dengan leluasanya. Ayo ada  ini ?," kilah Ambo Nai mempertanyakan.

Sementara itu, ditemui di keduamannya Kepala Lingkungan (Kaling) Nelayan Kelurahan Sungailiat mengatakan bahwa kehadiran dirinya bersama dengan masyarat tersebut bukan ikut serta atau ambil bagian  dalam aksi penolakan.

Akan tetapi kehadirannya semata-mata  ingin menjaga dan mengawal masyaratkatnya jangan sampai terjadi hal yang tidak dinginkan, karena  kebetulan dirinya masih menjadi Kepala Lingkungan.

"Kebetulan saya masih jadi Kepala Lingkungan ya saya berkewajiban menjaga dan mengawal masyarakat saya. Apa lagi mereka sudah datang ke rumah melaporkan  tentang aksi mereka. Maka saya pun harus  ikut turun untuk mengawal dan menjaga. Jangan sampai saya disalahkan orang," ungkap Sarifudin seraya menyebutkan karena Kaling itu selalu siap 24 jam yang tidak memeliki  kantor dan batas tutup kantornya.

Dikatakan Sarifudin bahwa sebelum mereka bergerak melakukan aksi, diri terlebih dulu sudah memberitahukan rencana aksi tersebut kepada PT Timah melalui via telpon.

"Saya bilang bahwa ada gerakan masyarakat. Ini saya sampaikan tadi malam sebelum mereka turun melakukan aksi tersebut," ujar Sarifudin.

Namun Sarifudin turut  menjelaskan hal berkaitan terjadinya pengusiran itu dikarenakan warga merasa terganggu dengan posisi kapal yang dianggap terlalu dekat dengan pantai. Serta adanya ketidakadilan dalam kesempatan bekerja di wilayah tersebut.

Selain itu, perairan yang dipakai untuk pariwisata, seperti di sekitar objek wisata Tongachi, juga berpotensi terganggu.

Konflik yang terjadi di Sungailiat ini tidak hanya mencerminkan ketegangan antara warga dan pelaku industri pertambangan, tetapi juga memperlihatkan pentingnya keadilan dalam distribusi pekerjaan di daerah yang terdampak operasi pertambangan.

Warga setempat menuntut transparansi dan hak untuk bekerja di wilayah yang selama ini mereka diandalkan sebagai sumber mata pencaharian.

Warga dan nelayan Lingkungan Nelayan 2 Sungailiat juga berharap aksi ini dapat memicu perubahan kebijakan yang lebih adil serta perlindungan yang lebih baik terhadap lingkungan pesisir mereka. 

Berpijak dari aturan di Permen ESDM No. 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang baik. Khususnya jarak operasional kerja KIP tidak ada pembatasan berapa mil terdekat atau terjauh dari garis pantai.

Sedangkan untuk PIP ada ketentuan antara lain :
- Area operasi PIP dibatasi dengan jarak maksimum 1 (satu) mill laut dari pantai dan /atau dengan kedalaman air laut tidak lebih dari 10 meter.

- Stabilitas ponton mampu menopang berat beban yang diizinkan dan gaya dari luar.

- hanya dioperasikan pada siang hari,dan 

- hanya dapat dipindahkan dari satu daerah kerja kedaerah kerja lainya dengan keputusan tertulis KTT .

Dibalik kejadian ini, begitu sangat disayangkan karena   tidak adanya sosialisasi KIP  kemasyarakat terdampak yang bekerja dilokasi. Akibatnya terjadinya menyebabkan kecemburuan masyarakat nelayan pekerja tambang rajuk lokal. 

Operasi KIP di wilayah pesisir seperti di Sungailiat ini, telah menjadi isu sensitif, terutama karena dampaknya terhadap lingkungan pesisir dan kehidupan nelayan. 

Kapal-kapal isap produksi sering kali menimbulkan sedimentasi dan perubahan ekosistem laut yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan nelayan setempat.

Selain itu, perairan yang dipakai untuk pariwisata, seperti di sekitar objek wisata Tongachi, juga berpotensi terganggu.

Konflik yang terjadi di Sungailiat ini tidak hanya mencerminkan ketegangan antara warga dan pelaku industri pertambangan, tetapi juga memperlihatkan pentingnya keadilan dalam distribusi pekerjaan di daerah  yang terdampak operasi pertambangan. 

Warga dan nelayan Lingkungan Nelayan 2 Sungailiat berharap aksi ini dapat memicu perubahan kebijakan yang lebih adil serta perlindungan yang lebih baik terhadap lingkungan pesisir mereka. 

Warga setempat menuntut transparansi dan hak untuk bekerja di wilayah yang selama ini mereka diandalkan sebagai sumber mata pencaharian.

Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT. Timah terkait tuntutan warga. 

Awak media masih berusaha mencoba mengkonfirmasi kepihak PT. Timah terkait penolakan KIP beroperasi didepan muara nelayan 2 dan apakah laut Batavia yang sebenarnya sudah masuk dalam wilayah lingkungan  masyarakat Jalan Laut Kecamatan Sungailiat Bangka. (Aimy).

IKLAN

×
Berita Terbaru Update