SimpulIndonesia.com__KENDARI,— Riuhnya media sosial belakangan ini yang memberitakan seorang Guru Honorer bernamaSupriyani Guru di SD Negeri 4 Baito KonaweSelatan. Pasalnya, ia harus mendekam dibalikjeruji besi atas tuduhan yang disematkankepadanya karena melakukan penganiayaankepada muridnya yang berusia 6 tahun.
Malang benar nasib nian Supriyani, pengabdiannyaselama 16 tahun sebagai Guru Honorer dengangaji sebesar Rp. 300 ribu yang diterimanya tiap 3 bulan, justru harus menyandang status Tersangkaatas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
Apesnya lagi, ia dipaksa untuk mengakuiperbuatannya, dimintai uang Rp. 50 juta sebagaibentuk uang damai serta harus mengundurkan dirisebagai Guru Honorer di SD Negeri 4 Baito.
Penetapan Tersangka
Penetapan Tersangka Supriyani cukup menarikuntuk ditilik. Sebab, informasi yang berseliweranmenyatakan bahwa penetapan Supriyani sebagaiTersangka didasarkan oleh keterangan anakkorban yang baru berusia 6 tahun dan 2 keterangan anak saksi yang umurnya sama.
Jika benar demikian, maka pertanyaan hukumyang kemudian muncul adalah “apakah keterangananak yang baru berusia 6 tahun dapat menjadi alatbukti yang sah untuk menetapkan Supriyanisebagai Tersangka?”
Secara hukum, penetapan Tersangka terhadapseseorang pasca adanya Putusan MahkamahKonstitusi Tahun 2014 telah mempertegas jikaharuslah memenuhi 2 alat bukti sebagaimanaditentukan di dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu mestiada Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Namun, alat buktisebagaimana Pasal 184 KUHAP yang relevandigunakan dalam tingkat penyidikan hanyalahketerangan saksi, keterangan ahli, dan surat.
Mengenai keterangan saksi dalam UU No. 11 Tahun2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah diatur bahwa anak yang menjadi saksi(anak saksi) itu belumlah berusia 18 tahun. Sedangkan KUHAP memberikan batasan bahwaanak yang belum berusia 15 tahun dan belumkawin.
Konsekuensi yuridis atas anak yang belum berusia15 atau 18 tahun tersebut adalah keterangan yang diberikan tidaklah disumpah (Pasal 171 huruf a KUHAP), sedangkan untuk menempatkanketerangan saksi itu menjadi alat bukti yang sempurna keterangan saksi itu haruslah diberikandibawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP).Pentingnya keterangan di bawah sumpahsebagaimana asas hukum yang berbunyi “JURARE EAT DEUM IN TESTEM VOCARE ET EST ACTUS DIVINI CULTUS” yang artinya memberikan sumpahialah sama halnya dengan memanggil Tuhansebagai saksi, bagian dari keagamaan.
Akibatnya, terhadap keterangan saksi yang diberikan tidak dibawah sumpah disebabkanumurnya yang belum berusia 15 tahun menjadikanalat bukti keterangan saksi anak tersebut menjaditidak sempurna. Olehnya itu, kedudukannyaditempatkan hanya sebagai alat bukti petunjuksebagaimana penjelasan Pasal 171 KUHAP.
Dalam kasus Supriyani, keterangan yang diberikanoleh anak korban dan 2 anak saksi yang notabenebelum berusia 15 tahun tersebut haruslahditempatkan menjadi alat bukti yang tidaksempurna, dalam hal ini keterangannya itumenjadi alat bukti petunjuk saja.
Pertanyaan hukum yang kemudian muncul adalah“apakah alat bukti petunjuk di dalam Pasal 184 KUHAP itu dapat digunakan oleh Penyidik?”
Bagi Penulis, alat bukti petunjuk yang terdapat di dalam Pasal 184 KUHAP hanyalah dimiliki oleh Hakim dan tidak dapat digunakan oleh Penyidik. Landasan argumentasi hukumnya adalah secarahistoris sebelum berlakunya KUHAP, hukum acarapidana yang digunakan adalah Herziene InlandchReglement(HIR) yang merupakan produk dariHindia-Belanda dimana salah satu alat bukti yang digunakan adalah eigen waarneming van de rechter atau “pengamatan hakim”.
Namun, setelah diundangkannya KUHAP melaluiUU No. 8 Tahun 1981 alat bukti pengamatan hakim itu diubah menjadi “petunjuk”. Selanjutnya, penegasan bahwa alat bukti Petunjuk itu menjadimilik Hakim pun telah ditegaskan di dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP.
Maka dalam penetapan tersangka Supriyanisebenarnya menjadi krusial untuk ditilik, sebabmestinya tidak memenuhi 2 alat bukti jika hanyadidasarkan oleh keterangan saksi berupa anakkorban dan anak saksi yang kesemuanya beradadibawah 15 tahun tanpa adanya alat bukti lain. Dimana konsekuensi yuridisnya menjadikan alatbukti tersebut tidak sempurna dan hanya berupaalat bukti petunjuk saja. Kendatipun hendakdigunakan, maka alat bukti petunjuk itu tidaklahdapat terterapkan oleh Penyidik, sebabsebagaimana secara historis dan normatifnya alatbukti Petunjuk itu hanyalah dimiliki oleh Hakim dan bukan oleh Penyidik.
Disisi yang lain, salah satu kewajiban yang harusdilakukan oleh Penyidik dalam hal memeriksa anakkorban maupun anak saksi berdasarkan UU SPPA adalah wajibnya Penyidik untuk meminta laporansosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagaimana Pasal 27 ayat(3) UU SPPA, dimana jika itu tidak dilakukan makaterdapat penyimpangan terhadap hukum acara pidana yang berdampak pada status penetapantersangka Supriyani.
Dilematisnya Penerapan RJ
Restorative Justice (RJ) merupakan salah satupendekatan dalam proses penyelesaian perkarapidana. Dimana konsepsi RJ ini sejatinyaberpangkal tolak dari pergeseran paradigmahukum pidana yang tidak lagi menjadikanpenghukuman dan pemenjaraan sebagai satu-satunya jalan untuk merespons terjadinya suatutindak pidana. Konsepsi RJ lahir denganmenjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir(ultimum remidium) dan bukan menjadi upayautama (premium remidium).
Olehnya itu, pendekatan RJ itu dilakukan denganmemberdayakan semua pihak, tidak hanya pelakudan korban, tetapi juga elemen masyarakat.
Dalam praktik sistem peradilan pidana saat ini, penerapan RJ ini dapat dilakukan baik ditingkatPenyidikan oleh Kepolisian berdasarkan PeraturanKapolri No. 8 Tahun 2021, ditingkat Penuntutanoleh Jaksa berdasarkan Peraturan Kerjaksaan No. 15 Tahun 2020 dan ditingkat Persidangan oleh Hakim berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2024. Akan tetapi, salah satu syaratagar dapat terterapkannya RJ ini adalah mestiadanya “pengakuan rasa bersalah” oleh Tersangka/Terdakwa.
Dalam kasus ini, peluang diselesaikannya melaluimekanisme RJ dapat saja dilakukan. Tetapi,Supriyani haruslah mengakui perbuatannya bahwabenar ia telah melakukan penganiayaan terhadapmuridnya tersebut.
Tentu penerapan RJ ini menjadi dilematis dan sumir untuk diterapkan. Musababnya karenaSupriyani merasa tidak pernah melakukanpenganiayaan terhadap muridnya tersebut. Lantas, bagaimana mungkin ia mengakui kesalahanterhadap suatu perbuatan sama sekali tidak ialakukan.
Peluang Jual-Beli RJ
Issue yang berkembang dalam kasus Supriyanimengenai adanya permintaan uang damai sebesarRp. 50 juta oleh pihak korban melalui penyidik saatmasih dalam proses penyidikan tentu menjadisalah satu hal yang cukup serius dalam halpenerapan RJ dalam tataran praktik.
Sebab, hal semacam ini seakan menunjukanbahwa untuk dapat diterapkannya RJ hanyalahdapat diselesaikan dengan uang. Secara tidaklangsung membuka peluang adanya praktik jual-beli RJ. Orang akan dengan sendirinyaterhindarkan dari pertanggungjawaban pidanaselama ia memiliki cukup uang untuk memenuhipermintaan. Tentu praktik-praktik semacam initidaklah diharapkan dari konsepsi RJ itu sendiri.
Maka perlu ada pengawasan ketat dalam halpenerapan RJ dalam sistem peradilan pidana. Jangan sampai terjadi praktik jual-beli denganmengatas namakan restorative justice.
Oleh: Muhammad Takdir Al Mubaraq, S.H., M.H.
Penulis merupakan Alumnus Magister IlmuHukum FH UGM dan Praktisi Hukum