-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Iklan

Tiga Terdakwa Penerima Suap Perizinan Dinyatakan Bersalah, Benarkah PT Midi Utama Indonesia Dilindungi Oknum Jaksa?

Sabtu, 26 Oktober 2024 | 14.03 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-26T07:03:25Z

 

Gambar : Kantor Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Tenggara. (Foto/Ist).


SimpulIndonesia.com__KENDARI,— Polemik penerima dan pemberi pada kasus korupsi perizinan PT Midi Utama Indonesia. Sabtu (26/10/2024).


Kasus korupsi perizinan PT Midi Utama Indonesia (MUI) libatkan beberapa eks petinggi di Pemerintah Kota Kendari.


Ketiganya yakni Eks Wali Kota Sulkarnain Kadir, Eks Sekertaris Daerah Ridwansyah Taridala, serta Eks Staf Ahli Walikota Kendari Syarif Maulana.


Ketiganya di vonis satu tahun pidana penjara hingga pidana denda 50 Juta Rupiah. 


Ketiganya dinyatakan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.


Kepala Kejaksaan Negeri Kendari, Ronal H Bakara mengatakan bahwa hasil penyidikan dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara sehingga pihakanyan melaksanakan eksekusi atas putusan MA terhadap tiga terpidana.


"Ini Kontruksinya pemberian ini dipaksa, seperti dipaksa begitu, jadi ini PT Midi kan yang berkepentingan untuk mendapatkan izin ini terpaksa memberikan itu untuk pengurusan surat izin tersebut," kata Ronal di Kejari Kendari, Kamis (24/10/2024) pada konferensi pers eksekusi eks Walikota Kendari Sulkarnain Kadir.


Pasal 11 Undang-Undang 31 Tahun 1999 berbunyi; “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.


Diketahui pasal 11 memiliki pasangan yakni pasal 13 Undang-Undang 31 Tahun 1999 yang berbunyi; “Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.


Dalam paksaan diketahui Dakwaan Primairnya, Pasal 12 huruf e. Karena itu ada paksaan.


Dalam putusan Mahkamah Agung tersebur diputus bersalah dengan dasar Pasal 11, pada pasal 11 menegaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan suap dalam kapasitasnya sebagai penerima suap. 


Hingga tercatat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 31 tahun 1999 jelas bahwa pasangan dari Pasal 11 adalah Pasal 13 yaitu penerima suap.


Jika melihat putusan MA, maka harus ada pemberi. sebab suap tidak bisa dilakukan seorang diri dalam kapasitas sebagai penerima.


Diketahui setidaknya ada tiga Karakteristik tindak pidana korupsi suap: 

1. Mesti ada meeting of mind (Kesepakatan kehendak) diantara para pelaku (pemberi dan penerima suap) untuk melakukan tindak pidana

2. ⁠Tidak bisa berdiri sendiri atau hanya pelaku tunggal, karena suap itu adalah tindak pidana berpasangan, ada penerima ada pemberi

3. ⁠Jika orang dihukum dengan Pasal 11 pasangannya itu Pasal 13 itu mengatur tentang pemberi suap.


Sementara itu praktisi hukum senior di Kota Kendari Sulawesi Tenggara, Nasruddin.,S.H.,M.H., mengatakan bahwa suap merupakan kejadian transaksional.


“Suap itu, bersifat transaksional, di mana pemberian menjadi syarat transaksi berhasil, suap terjadi ketika pengguna jasa menawarkan imbalan kepada petugas layanan agar urusannya lebih cepat,”Ujar Nasruddin ke Tim SimpulIndonesia.com saat dikonfirmasi via whatsapp.


Dalam urusan kelancaran perizinan, kata Nasruddin, mesti ada penerima dan pemberi.


“Dalam perkara itu berdasarkan dakwaan dan fakta sidang, agar semua lancar maka dibuatlah Anoa Mart, sebagai mana putusan tiga perkara yang telah dieksekusi karena adanya pemberian dana, ada pemberi, ada penerima dan urusan jadi lancar,”Jelas Nasruddin.


Dalam konteks pemerasan kata Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) itu harusnya PT Midi Utama Indonesia yang melaporkan bahwa ia diperas.


“Kalau mau dikatakan pemerasan sebagaimana layaknya pemerasan, harusnya dari PT. MUI yang melapor bahwa dia diperas, diancam kalau tidak mau kasih akan di bongkar masalahnya, kalau dalam perkara itu tidak ada fakta diperas dan yang ada memberi secara sadar agar urusan lancar maka pemberi harus jadi tersangka,”Jelas Nasruddin.


Saat ditanya mengenai dugaan oknum Kejaksaan Tinggi melindungi PT Midi Utama Indonesia, Nasruddin mengatakan para terpidana harus melaporkan.


“Kalau melindungi saya belum bisa duga-duga, karena tidak terlalu mendalami, kalaupun itu ada bisa saja para terpidana buat juga laporan agar tidak ada disparitas dalam penegakkan hukum, kalau juga sudah ada laporan lantas Aparat Penegak Hukum (APH) tidak bersikap, ajukan praperadilan,”Tegas Nasruddin.


Soal putusan Mahkamah Agung, Nasruddin sesuai fakta hukum pemberi harus dijadikan tersangka.


“Sesuai fakta hukum, atas putusan perkara tersebut, pemberi harus juga dijadikan tersangka,”Tutup Nasruddin.,S.H.,M.H,.


Saat dikonfirmasi via whatsapp, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, Dody.,S.H., belum merespon pertanyaan dari tim SimpulIndonesia.com, yang dilayangkan pada Jumat (25/10/2024) lalu.(Nur).

×
Berita Terbaru Update