SimpulIndonesia.com__KENDARI,— Tim kuasa Hukum Nur Alam Sugihyarman Silondae angkat bicara soal Laporan yang diajukan oleh tim ASR-Hugua terhadap Dr. H. Nur Alam terkait tuduhan ujaran kebencian, SARA, kampanye hitam, dan pelanggaran kampanye. Sabtu (26/10/2024).
Menurut Sugihyarman Silondae, tuduhan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat serta salah sasaran.
“Penting untuk ditegaskan bahwa Dr. H. Nur Alam bukan kandidat Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2024, sehingga laporan ini tidak relevan dan bukan ranah Bawaslu,”Katanya.
Menurutnya, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Bawaslu No. 6 Tahun 2024 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Bawaslu hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menangani pelanggaran yang dilakukan oleh peserta Pilkada yang sah, yaitu calon kepala daerah yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU.
“Berdasarkan Pasal 466 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pengawasan oleh Bawaslu hanya dilakukan terhadap peserta pemilu yang terlibat dalam kampanye atau proses pemilihan. Mengingat Dr. H. Nur Alam tidak terdaftar sebagai calon, Bawaslu tidak memiliki dasar hukum untuk menerima, memproses, atau menindaklanjuti laporan ini. Dengan demikian, laporan ini harus ditolak karena salah alamat dan berada di luar batas wewenang Bawaslu,”Jelasnya.
Dalam konteks hukum, tuduhan ujaran kebencian dan SARA memiliki standar pembuktian yang sangat ketat, karena kedua jenis pelanggaran ini terkait dengan upaya provokasi yang memecah belah masyarakat berdasarkan identitas suku, agama, ras, atau antargolongan.
Berdasarkan Pasal 28E UUD 1945, setiap warga negara berhak untuk mengemukakan pendapat, dan kebebasan ini merupakan landasan filosofi dari demokrasi yang menghormati kebhinnekaan.
Pasal 69 UU No. 1 Tahun 2015 dan Pasal 16 PKPU No. 13 Tahun 2024 juga mengatur bahwa kampanye harus menghormati perbedaan identitas, tetapi ini tidak boleh disalahartikan untuk menghalangi kritik politik yang sah.
Kritik yang menyoroti aspek-aspek kultural atau kebijakan politik lokal tidak dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian atau SARA jika tidak ada unsur provokasi yang secara eksplisit ditujukan untuk memecah belah masyarakat.
Dalam kasus Dr. H. Nur Alam, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa orasi yang disampaikan bertujuan memprovokasi permusuhan di antara kelompok masyarakat.
Sebaliknya, orasi tersebut merupakan kritik yang sah dalam kerangka politik lokal, di mana identitas kultural sering kali menjadi bagian dari dinamika politik yang sehat.
Menurut Sugihyarman Silondae, S.H., M.H., selaku Kuasa Hukum Dr. H. Nur Alam, orasi tersebut seharusnya dipandang dari perspektif filosofis kebebasan berekspresi dalam politik, bukan dari sudut pandang provokasi kebencian.
Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang memungkinkan warga negara menyuarakan pendapat politik tanpa takut dituduh melakukan pelanggaran, asalkan tidak ada niat jahat atau upaya untuk merusak kerukunan masyarakat.
"Dalam konteks Dr. H. Nur Alam, kritik terhadap dinamika politik lokal, yang menyinggung identitas atau latar belakang kultural, bukanlah bentuk ujaran kebencian yang diatur dalam undang-undang. Kritikan ini merupakan bagian dari hak politik yang sah untuk mengajak masyarakat berdiskusi tentang siapa yang paling layak memimpin." Ujarnya.
Sugihyarman menerangkan kritik yang disampaikan oleh Dr. H. Nur Alam terkait kepemimpinan dan kelayakan calon lainnya merupakan bentuk kritik politik yang sah. Berdasarkan Pasal 13 PKPU No. 13 Tahun 2024, visi, misi, dan program calon harus disampaikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran politik.
“Kritik yang dilakukan oleh Nur Alam adalah bagian dari diskusi politik yang wajar dan tidak dapat dianggap sebagai kampanye hitam karena tidak mengandung unsur fitnah, disinformasi, atau penghinaan pribadi,”Tambahnya.
Kritik politik yang didasarkan pada fakta dan relevansi terhadap calon pemimpin tidak melanggar aturan kampanye selama tidak ada unsur kebohongan atau upaya untuk merusak reputasi pribadi calon lain. Dalam hal ini, tidak ditemukan bukti bahwa kritik tersebut dilakukan dengan maksud jahat atau menyerang pribadi secara tidak sah.
Diketahui acara yang diselenggarakan oleh Dr. H. Nur Alam adalah acara silaturahmi, bukan bagian dari kampanye politik formal. Berdasarkan Pasal 5 dan 6 PKPU No. 13 Tahun 2024, kampanye hanya dapat dilakukan oleh pasangan calon atau tim kampanye yang terdaftar, dengan jadwal kampanye yang telah ditetapkan oleh KPU.
“Acara tersebut tidak memuat atribut partai politik atau gambar calon, dan tidak ada bukti bahwa acara tersebut melanggar ketentuan kampanye atau aturan zonasi. Oleh karena itu, acara tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran kampanye formal,”Tutupnya.
Sampai berita ini ditayangkan belum ada konfirmasi dari pihak terkait, tim SimpulIndonesia.com masih berupaya melakukan konfirmasi.(Nur).