Tim hukum TNA-Ihsan sebelumnya diberitakan melaporkan terkait dugaan pelanggaran pidana politik uang dan pelanggaran adiministratif kampanye dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara 2024,
Laporan tersebut dilayangkan ke Bawaslu pada 28 Oktober 2024 lalu.
Dalam analisis mendalam berbasis penalaran hukum yang kritis tim hukum TNA-Ihsan Sugihyarman menunjukkan bahwa argumen yang diajukan tidak hanya bertentangan dengan asas-asas hukum dasar, tetapi juga gagal memenuhi standar logika hukum yang berlaku dalam konteks Pilkada.
Lebih lanjut, Sugihyarman menegaskan bahwa penerapan hukum yang salah dan upaya melepaskan tanggung jawab oleh Tim Hukum ASR-Hugua justru memperlihatkan kelemahan struktural dalam pembelaan mereka.
Sugihyarman Silondae, S.H., M.H. membuka argumennya dengan menyoroti penalaran hukum yang cacat dari Tim Hukum ASR-Hugua yang berupaya menggunakan argumen bahwa kegiatan pasar murah dilakukan oleh pihak ketiga dan bukan oleh pasangan calon langsung, sehingga melepaskan mereka dari tanggung jawab.
Secara logis dan hukum, Asas Tanggung Jawab Perwakilan (Vicarious Liability) secara tegas membantah argumen ini. Sugihyarman menjelaskan bahwa logika hukum dalam Pilkada menuntut tanggung jawab penuh dari pasangan calon atas setiap tindakan yang menguntungkan mereka secara politik, meskipun dilakukan oleh pihak ketiga.
Argumen bahwa kegiatan pasar murah dilakukan oleh pihak ketiga merupakan bentuk fallacy of exclusion, yaitu upaya untuk menutup fakta penting yang mengaitkan langsung antara keuntungan politik dan pasangan calon.
Sugihyarman juga mengatakan dengan analisis kritis terhadap Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali. Argumen bahwa kegiatan pasar murah adalah program sosial bukan tindakan politik tidak relevan secara hukum. UU No. 10 Tahun 2016, sebagai aturan khusus yang berlaku dalam konteks Pilkada, menggugurkan aturan umum yang mengatur kegiatan sosial biasa.
“Dengan demikian, aturan khusus yang melarang pemberian uang atau barang untuk mempengaruhi pemilih harus lebih diutamakan. Dalam logika hukum kritis, interpretasi terhadap UU No. 10 Tahun 2016 tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Pilkada, di mana pemberian barang yang terhubung dengan kampanye (melalui simbol dan slogan "Menyala 02") tidak bisa dianggap sebagai kegiatan sosial netral. Ini adalah bentuk penalaran deduktif, di mana aturan khusus harus diterapkan secara ketat pada kasus yang jelas-jelas melibatkan upaya mempengaruhi pemilih,”Ujarnya.
Bukti video yang menampilkan ajakan langsung kepada warga, seperti kalimat "Pasar Murah ASR Harga Rp. 2.000, Ayo Merapat, Menyala 02", memperjelas adanya maksud politik. Distribusi barang dengan syarat menunjukkan KTP menunjukkan upaya mempengaruhi pemilih secara tidak langsung. Kegiatan ini memenuhi unsur Pidana Politik Uang, karena melibatkan pemberian barang dengan tujuan mempengaruhi pilihan politik, melanggar aturan kampanye dan asas keadilan dalam Pilkada.
Selain itu, Sugihyarman menegaskan bahwa upaya untuk mengelak dari tanggung jawab atas distribusi barang tanpa izin dari KPU juga gagal dari segi penalaran hukum yang sehat.
“Berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Peraturan KPU No. 13 Tahun 2024, distribusi bahan kampanye yang tidak melalui izin resmi secara otomatis melanggar Asas Legalitas, yang mengharuskan setiap tindakan hukum memiliki dasar yang sah,”Tegasnya.
Dalam kasus ini, Sugihyarman mengungkapkan bahwa alasan ketiadaan ajakan politik langsung tidak bisa digunakan untuk membenarkan tindakan yang sudah melanggar aturan formal. Logika formal hukum menunjukkan bahwa setiap distribusi barang kampanye tanpa izin tetap merupakan pelanggaran administratif yang serius.
“Jika ajakan politik tidak eksplisit, itu tidak mengurangi kesalahan hukum dalam distribusi materi kampanye yang tidak sah,”Terangnya.
Sugihyarman Silondae, S.H., M.H. juga mengarahkan kritik tajam pada praktik vote buying yang melibatkan pemberian uang kepada kepala desa. Penalaran hukum kritis mengungkap bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar Pasal 29 huruf j UU No. 6 Tahun 2014 tentang larangan keterlibatan kepala desa dalam politik praktis, tetapi juga secara fundamental melanggar Asas Netralitas.
“Dalam logika hukum yang mendalam, netralitas pejabat publik adalah landasan dari sistem demokrasi yang adil, di mana setiap upaya untuk menggerakkan dukungan politik melalui penyalahgunaan jabatan harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap integritas Pilkada,”Tuturnya.
Sugihyarman menggarisbawahi bahwa memberikan insentif finansial kepada pejabat publik bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga secara substansial merusak esensi demokrasi.
“Kami tegaskan bahwa bukti awal telah kami ajukan dalam Laporan di Bawaslu Sultra, dan saksi-saksi telah disiapkan untuk mendukung tuduhan ini. Investigasi lebih mendalam oleh Bawaslu dan Gakkumdu sangat diperlukan untuk memastikan kebenaran pelanggaran ini. Apabila terbukti, hal ini akan semakin memperkuat bahwa tindakan vote buying yang dilakukan melalui pemberian uang kepada pejabat desa tidak hanya melanggar aturan hukum yang berlaku, tetapi juga mengancam keadilan dan transparansi Pilkada,”Ujarnya.
Yurisprudensi juga mendukung penalaran hukum ini. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XV/2017 secara eksplisit menegaskan bahwa pasangan calon tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga, jika tindakan tersebut memberikan keuntungan politik.
“Ini merupakan prinsip tanggung jawab hukum yang tidak bisa dielakkan, karena pasangan calon tidak bisa menggunakan pihak ketiga sebagai tameng untuk menghindari sanksi hukum. Sugihyarman menjelaskan bahwa berdasarkan logika hukum kritis, pasangan calon yang memperoleh manfaat politik dari kegiatan pihak ketiga, seperti pasar murah yang dikaitkan dengan kampanye, tetap harus bertanggung jawab penuh atas konsekuensi hukum dari kegiatan tersebut,”Katanya.
Dalam konteks ini, Sugihyarman menegaskan bahwa pembelaan Tim Hukum ASR-Hugua sangat lemah karena gagal memperhitungkan asas kepastian hukum (Rechtszekerheid), yang menuntut agar setiap pelanggaran hukum diproses dan dipertanggungjawabkan secara tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Dengan adanya bukti video yang menunjukkan keterkaitan langsung antara kegiatan pasar murah dan simbol kampanye, tidak ada ruang bagi argumen yang mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak berhubungan dengan Pilkada. Sugihyarman juga menyatakan bahwa penalaran logis di sini menuntut bahwa penggunaan simbol kampanye dalam kegiatan apapun yang mendekati waktu Pilkada tidak bisa dianggap netral, terutama jika kegiatan tersebut memberikan keuntungan langsung kepada pasangan calon,”Ujar Sugihyarman.
Sugihyarman Silondae, S.H., M.H. menyimpulkan bahwa seluruh pembelaan Tim Hukum ASR-Hugua gagal secara fundamental dalam penerapan logika hukum dan asas hukum yang berlaku.
“Berdasarkan Asas Legalitas, Asas Lex Specialis, Asas Netralitas, dan Asas Tanggung Jawab Perwakilan, pasangan calon ASR-Hugua tetap bertanggung jawab penuh atas pelanggaran yang terjadi, baik secara langsung maupun oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, penalaran hukum kritis dan logika formal hukum mengarah pada kesimpulan yang tak terelakkan: pelanggaran ini bersifat sistemik dan serius, dan jika terbukti, sanksi yang tepat adalah diskualifikasi,”Ulasnya.
Sugihyarman berharap Bawaslu dan Gakkumdu untuk segera menindaklanjuti kasus ini dengan investigasi mendalam dan menegakkan sanksi yang sesuai.
“Integritas Pilkada dan prinsip keadilan dalam demokrasi harus dijaga, dan setiap pelanggaran yang merusak prinsip-prinsip ini harus ditindak dengan tegas sesuai hukum yang berlaku,”Tutupnya.
Sampai berita ini ditayangkan belum ada konfirmasi dari pihak terkait, Tim SimpulIndonesia.com masih berupaya melakukan konfirmasi.(Nur).