SimpulIndonesia.com__BOMBANA,— Di tengah ketegangan politik yang semakin memanas, sebuah dinamika yang sebenarnya sudah tergolong lama dalam 10 tahun terakhir muncul kembali dalam pemerintahan. Minggu (24/11/2024).
Salah satu calon pemimpin yang ambisius mulai menunjukkan keberaniannya dengan mengintervensi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan birokrasi Kabupaten Bombana.
Selanjutnya, dengan slogan perubahan yang menggema di setiap pidatonya, ia berjanji akan menghapuskan praktik birokrasi yang bertele-tele dan tidak efisien, serta menjadikan pelayanan publik lebih cepat dan transparan.
Namun, di balik janji-janji tersebut, mulai terungkap potensi bahaya dari intervensi yang terlalu jauh. Calon kepala daerah ini mulai menekan para pejabat tinggi untuk mengikuti arah kebijakan yang tidak selalu didasarkan pada pertimbangan profesionalisme atau prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Instruksi dari atas sering kali datang tanpa dasar hukum yang jelas, hanya berlandaskan pada keinginan untuk mempercepat implementasi program, tanpa melihat kesiapan dan kapasitas birokrasi.
Birokrasi yang seharusnya menjadi mesin yang berjalan berdasarkan regulasi dan prosedur yang telah ditetapkan, kini mulai dipaksa untuk bergerak mengikuti irama yang lebih cepat dari kemampuan mereka.
Seharusnya ASN bebas dari tekanan politik, mulai merasa terjepit antara tuntutan objektifitas dan kewajiban untuk mendukung kebijakan yang dicanangkan oleh calon pemimpin tersebut.
Dalam situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pegawai negeri, beberapa dari mereka mulai merasa takut untuk mengambil keputusan yang independen, karena khawatir akan ada konsekuensi negatif jika kebijakan mereka tidak sejalan dengan visi sang calon pemimpin.
Ketakutan itu bukan hanya merusak moral ASN, tetapi juga membentuk budaya birokrasi yang lebih rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Masyarakat, yang awalnya berharap perubahan, kini mulai merasakan ketidak pastian.
Sistem pelayanan publik yang semula diharapkan lebih efisien dan transparan justru terhambat oleh ketidakstabilan di dalam tubuh pemerintahan.
Munculnya kebijakan-kebijakan yang dipaksakan tanpa perencanaan matang hanya semakin memperburuk citra pemerintahan yang sebelumnya sudah diwarnai dengan masalah birokrasi yang kompleks.
Pemimpin yang berambisi itu, meski bertekad untuk membawa perubahan, ternyata justru mengabaikan pentingnya keseimbangan antara kepemimpinan yang tegas dengan penghargaan terhadap profesionalisme birokrasi.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan daerah, bukan malah mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketika perubahan yang dijanjikan lebih banyak didorong oleh ambisi pribadi daripada prinsip tata kelola yang baik, maka yang seharusnya menjadi instrumen perbaikan sosial justru berubah menjadi alat untuk memperkokoh kekuasaan pribadi yang menambah beban bagi para pegawai negeri dan masyarakat luas.
Penulis : Fabian Faqih (Pemuda Bombana).