BULUKUMBA – Masyarakat pesisir Bampang, Kelurahan Sapolohe, Kabupaten Bulukumba, berjuang dalam melawan ancaman abrasi yang semakin menggila.
Daratan yang terkikis setiap tahun memaksa mereka menghadapi kenyataan pahit : Rumah-rumah perlahan hilang, tanah leluhur lenyap di bawah ombak, dan hidup menjadi penuh ketidakpastian.
Pada akhir tahun 2022, puncak krisis terjadi saat musim angin barat menghantam.
Sebanyak 17 dari 83 rumah rusak parah, meninggalkan 286 jiwa dalam ketakutan akan hari esok.
"Kami tidak punya pilihan selain bertahan. Laut adalah sumber hidup kami, dan tanah ini adalah warisan yang harus kami jaga," ujar seorang warga Bampang yang enggan menyerah meski setiap harinya dihantui ancaman banjir rob dan abrasi.
Namun, bertahan tidak berarti diam. Pada tahun yang sama, warga Bampang mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah agar segera membangun tanggul sebagai solusi jangka panjang.
Alih-alih mendapat jawaban konkret, yang datang hanya bantuan sembako.
"Bantuan itu hanya untuk makan beberapa hari, tetapi kami membutuhkan solusi untuk bertahan hidup selamanya," ungkap salah seorang kepala keluarga dengan nada getir.
Kecewa dengan lambannya respons, masyarakat memutuskan mengambil tindakan sendiri.
Peletakan batu pertama untuk tanggul swadaya menjadi simbol perlawanan mereka. Namun, semangat saja tidak cukup. Keterbatasan dana menjadi tembok besar yang sulit mereka lampaui.
Di tengah perjuangan itu, solidaritas muncul. Front Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting Universitas Muhammadiyah Bulukumba (UMB) bersama Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan mengambil langkah nyata dengan menggalang dana bagi warga Bampang.
Kegiatan ini bukan hanya untuk membangun tanggul, tetapi juga membangun kesadaran publik dan menekan pemerintah agar bertindak lebih serius.
“Abrasi di Bampang bukan hanya masalah lingkungan, tetapi krisis kemanusiaan. Pemerintah harus melihat ini sebagai prioritas. Ini soal kelangsungan hidup masyarakat pesisir,” tegas Egil, Ketua FMN Ranting UMB.
Narasi yang sama dilontarkan oleh Anas, anggota Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan.
"Kampung mereka sedang hilang di depan mata, dan kita tidak bisa tinggal diam. Pembangunan tanggul bukan hanya tentang melindungi rumah, tetapi juga menjaga identitas dan masa depan mereka," katanya.
Sayangnya, hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah daerah. Warga Bampang terus berharap, meski harapan itu semakin tipis.
Mereka menyadari bahwa pembangunan tanggul adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda, karena ancaman banjir rob terus mendekat seiring musim angin barat yang datang setiap tahun.
Penggalangan dana ini menjadi simbol bahwa masyarakat kecil tidak selamanya bisa bergantung pada janji manis pemerintah.
Mereka belajar bertahan dengan solidaritas, membangun dengan kebersamaan, dan berharap dengan doa.
Namun, solidaritas saja tidak cukup. Pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba harus segera bergerak.
Ancaman abrasi tidak hanya merusak daratan, tetapi juga merenggut masa depan masyarakat pesisir.
Warga Bampang telah menunjukkan perjuangan mereka. Kini, giliran pemerintah untuk membuktikan keberpihakannya.
Sebuah peringatan jelas tercermin di Bampang: di saat masyarakat harus bertahan sendiri, pemerintah tidak hanya terlambat, tetapi juga terancam kehilangan kepercayaan.
Solidaritas warga telah bicara, kini tinggal menunggu kapan negara akan mendengar.