SIMPULINDONESIA.COM__KENDARI,— Kejahatan tindak pidana menambang nikel ilegal yang merusak lingkungan di Desa Oko-oko, Sulawesi Tenggara (Sultra) berujung penetapa tersangka Direktur PT AG, LM (28) dan Komisaris PT AG, AA (26). (28/01/2023).
Barang bukti yang disita sebanyak 17 unit alat berat Excavator PC 200 serta dititipkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Kendari
Penyidik menjerat kedua Tersangka dengan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar," katanya dalam keterangan tertulis, Senin ( sumber Detik.com 13/11/2023).
Atas hal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Pasal 2 ayat 1 huruf w dan huruf x UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).
Jaringan Advokasi Tambang Indonesia (JATI) dalam rilis persnya menguraikan dari Total 17 alat berat yang disita Gakkum KLHK dirinya mensinyalir atau menduga 7 Alat Berat Tersebut merupakan Milik dari Oknum Kades oko-Oko berinisial ( BNR)
Kurun waktu dua tahun kasus ini bergulir dari total 17 alat Berat yang di amankan patut kami duga GAKKUM KLHK tidak melakukan penindakan secara menyeluruh sehingga kami anggap telah alpa menelusuri kepemilikan Alat (BNR) tersebut.
Aktivitas tambang ilegal menjadi salah satu tantangan besar dalam tata kelola Sumber daya Alam di Indonesia berdasarkan uraian di atas di mana dalam tataran Normatif.
Pelaku Ilegal Mining dapat di jerat UU no. 3 Tahun 2020 pasal 158 dengan salah satu kutipan setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100.000.000 (Seratur Milyar)
Hingga saat ini berhentinya penyidikan di tubuh Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Tenggara dapat menjadi Preseden buruk penegakan hukum di Indonesia disisi lain ketidakmampuan Gakkum KLHK dan Kejaksaan Tinggi memproses Oknum inisial( BNR) ini dapat membangun asumsi bahwa pertambangan tanpa izin dapat dikelola dengan mudah mengingat izin pertambangan merupakan upaya pembatasan dan perlindungan pemerintah terhadap masyarakat.
Secara yuridis, aparat penegak hukum dalam kasus ini Kejaksaan Tinggi semestinya tidak hanya menersangkakan direksi atau komisaris dari perusahaan-perusahaan tambang yang melakukan kejahatan.
Mengingat kasus ilegal mining di oko oko kejahatan Korporasi terstruktur maka instrumen yang terlibat dan memiliki andil dalam aktifitas pertambangan (BNR) harus segera di tersangkakan dan di berhentikan dalam jabatan kepala desa jika terbukti.
Penulis: Enggi Indra Syahputra, Direktur Eksekutif JATI Sultra