SIMPULINDONESIA.COM__JAKARTA,— Kuasa Hukum Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM., Sugihyarman Silondae, S.H., M.H., menegaskan bahwa pencabutan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang dilakukan secara sepihak oleh Calon Wakil Gubernur La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan tidak serta-merta menghilangkan hak konstitusional Calon Gubernur untuk tetap melanjutkan sengketa hasil Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara.
Menurut Sugihyarman, pencabutan tersebut tidak pernah disepakati bersama serta tidak diberitahukan terlebih dahulu kepada Tim Kuasa Hukum yang menangani perkara.
Fakta ini mengemuka setelah La Ode Muh Ihsan, pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 10 Januari 2025 dan Sidang Lanjutan Rabu, 22 Januari 2025, di Ruang Sidang Panel II Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan mencabut surat kuasa dan permohonan “atas kemauannya sendiri.”
Pernyataan sepihak ini memunculkan berbagai pendapat di ruang publik, termasuk dari Kuasa Hukum Termohon (KPU Sultra), yang menyatakan bahwa paslon (pasangan calon) Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM. dan La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan otomatis kehilangan kedudukan hukum (legal standing).
Sugihyarman menegaskan bahwa pengajuan permohonan sengketa hasil pilkada seharusnya dilakukan bersama sebagai satu kesatuan subjek hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Ia merujuk pula pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (beserta perubahannya) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang Tata Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah, termasuk PMK Nomor 3 Tahun 2024 yang menegaskan pentingnya memverifikasi keabsahan pencabutan permohonan.
“Ketentuan hukum kita mewajibkan bahwa pengajuan permohonan sengketa hasil pilkada diajukan pasangan calon sebagai satu kesatuan subjek hukum. Karena itu, pencabutan sepihak oleh salah satu pihak seharusnya tidak serta-merta membatalkan permohonan yang diajukan bersama. Jika MK mengabulkan eksepsi Termohon akibat pencabutan sepihak itu, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk ke depannya, karena membuka peluang salah satu pihak seenaknya mencabut permohonan dan menghalangi hak konstitusional pihak lain,” ujar Sugihyarman usai persidangan di Gedung MK, Rabu (22/1/2025).
Ia menambahkan, kedaulatan untuk menggugat hasil pemilihan adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin UUD NRI 1945, termasuk hak paslon yang merasa dirugikan.
Dari segi formil, paslon memang diakui sebagai pemohon kolektif. Namun, secara materiil, masing-masing calon memiliki kepentingan hukum tersendiri yang wajib mendapat perlindungan.
Jika hanya salah satu pihak yang melakukan pencabutan tanpa kesepakatan maupun pemberitahuan resmi, MK memiliki kewenangan untuk menilai apakah pencabutan itu mencerminkan persetujuan kedua belah pihak atau justru menimbulkan pelanggaran hak konstitusional calon lainnya.
“Prinsipnya, setiap warga negara berhak mendapat perlindungan hukum yang adil dan proporsional. Apabila MK mengabulkan eksepsi Termohon berdasar pencabutan sepihak, akan timbul ketidakpastian hukum karena Calon Gubernur yang masih ingin berjuang tidak bisa melanjutkan permohonan. Ini jelas merugikan hak konstitusional,” tegas Sugihyarman.
Dalam sidang lanjutan, KPU Sultra sebagai Termohon dan pihak terkait lainnya telah menyampaikan jawaban maupun keterangan atas permohonan yang didaftarkan dengan Nomor 249/PHPU.GUB-XXIII/2025.
Sugihyarman pun menggarisbawahi pentingnya MK mendalami fakta pencabutan sepihak ini dengan berpegang pada asas keadilan, asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, dan asas perlindungan hak konstitusional.
Menurutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk menjaga konstitusionalitas pemilu, termasuk memastikan agar hak salah satu calon dalam satu paket paslon tidak terampas oleh tindakan sepihak.
Lebih jauh, PMK Nomor 3 Tahun 2024 mengatur bahwa pencabutan permohonan harus memenuhi ketentuan formil dan materiil, salah satunya memerlukan kesepakatan seluruh pasangan calon (paslon).
Pencabutan sepihak tanpa kesepakatan dapat dinilai tidak sah atau tidak memenuhi syarat verifikasi di MK.
Apabila eksepsi termohon diterima berdasarkan pencabutan sepihak ini, maka konsekuensi hukumnya adalah terciptanya preseden buruk bagi perselisihan hasil pemilihan lainnya, karena membuka celah bagi salah satu pihak untuk membatalkan perjuangan hukum paslon lain secara sepihak, sekaligus mengabaikan hak konstitusional yang seyogianya dijamin dalam sistem demokrasi.
“Kami berharap MK tetap memproses permohonan yang diajukan Calon Gubernur Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM., agar sidang dapat berlanjut hingga ke pokok perkara. Mengabaikan kepentingan salah satu calon justru berpotensi menimbulkan preseden negatif, yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menghilangkan hak konstitusional paslon lain dengan dalih pencabutan sepihak,” tutur Sugihyarman.(Nur).