
SIMPULINDONESIA.COM__KONAWE SELATAN,— Cerita warga Desa Rambu-Rambu Jaya, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga kerap mendapatkan aksi kriminalisasi oleh oknum TNI AU. Rabu (19/03/2025).
Diketahui polemik sengketa lahan yang berada di Rambu Jaya, Kecamatan Ranomeeto terus berlangsung hingga saat ini. Di mana warga dan pihak TNI AU atau Lanud Haluoleo saling klaim atas tanah seluas 274 hektare.
Warga Desa Rambu-rambu Jaya mengaku bahwa tanah seluas 274 hektar itu merupakan tanah orang tua atau leluhur mereka.
Warga membantah pernyataan Lanud Haluoleo. Hingga warga terus mempertahankan tanah itu.
Bahkan sebelumnya juga warga setempat sempat memanfaatkan lahan itu dengan menanamkan beberapa tanaman seperti pohon mahoni hingga tanaman pertanian.
Tetapi anehnya, tanaman tersebut kemudian diduga di rusak oleh oknum TNI AU dengan cara di cabut dan dirusak bahkan di bakar.
"Saya saksi nyata adanya aksi kriminalisasi oknum TNI AU saat itu, di mana saya gunakan tanah ini untuk menanam pohon dan tanaman pertanian. Kemudian patok pembatas juga di cabut bahkan gubuk saya di bakar," cerita Jufrianto mewakili warga Desa Rambu yang diduga kerap dikriminalisasi.
“Kami berkebun, dan setelah tanaman saya setinggi pinggang, AURI (TNI AU) datang dengan armada lengkap, termasuk mobil ambulance,”Tambah Jufrianto.
Sehingga, dirinya dan warga sempat mengalami trauma yang mendalam atas aksi tersebut.
Karena merasa kuat dengan bukti-bukti atas tanah tersebut. Pihaknya akan terus mempertahankan lahan itu.
"Saya bersama warga akan terus pertahankan lahan ini karena bukti-bukti kami juga kuat," ungkapnya
Sementara warga lainnya bernama Muslimin juga menjelaskan kronologi tanah tersebut melalui tiga fase.
Fase pertama adalah pada masa penjajahan Belanda, fase kedua pada masa penjajahan Jepang, dan fase ketiga adalah pada masa pendudukan AURI di tahun 1975.
Menurutnya, pembicaraan mengenai bandara sering kali disamakan dengan istilah 'sikojo' yang digunakan oleh orang tua mereka.
"Sikojo itu adalah bandara bayangan yang digunakan untuk melindungi bandara sesungguhnya, Jadi, kalau kita berbicara soal kepemilikan tanah, itu terkait dengan peninggalan penjajahan Jepang," jelasnya.
Ia pun mempertanyakan tujuan TNI AU untuk mempertahankan sebuah cagar budaya atau peninggalan jepang yang menurutnya sudah tidak ada lagi karena dirusak.
"Kalau itu, institusi sudah rusak, apa yang mau dijaga? Tanah itu bukan milik TNI AU,"tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa bangunan yang ada di kawasan tersebut telah dihancurkan oleh TNI AU itu sendiri ketika memberi kontrak kepada investor.
"Jadi kalau peninggalan warisan Jepang sebagai institusi sudah rusak, klaim TNI AU terhadap tanah ini tidak tepat," pungkasnya.
Sementara Lanud Haluoleo mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan area yang telah digunakan sejak era penjajahan Jepang dan memiliki relevansi dengan penggunaan tanah untuk kepentingan pertahanan negara pasca kemerdekaan.
"Lahan Translokau merupakan lahan peninggalan jepang yang memiliki nama Pangkalan AURI Boro-Boro atau dikenal masyarakat Pangkalan Sukedjo. TNI AU juga memiliki dokumen dan bukti kepemilikan yang sah atas tanah tersebut yang sudah tercatat dalam arsip militer,” ujar Komandan Lanud Haluoleo Kolonel Pnb Lilik Eko Susanto beberapa waktu lalu.
Komandan Lanud juga membantah terkait adanya intimidasi atau kekerasan kepada warga setempat. Pihaknya hanya mengamankan aset negara agar tidak di serobot orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
"Terkait dengan tuduhan intimidasi yang disampaikan oleh Kepala Desa dan warga setempat, pihak TNI AU dengan tegas membantah adanya tindakan intimidasi atau kekerasan terhadap warga. TNI AU hanya mengamankan aset negara agar tidak di serobot orang-orang yang tidak bertanggung jawab," beber dia lagi.(Nur).